Islam meletakkan pernikahan sebagai bagian yang utuh dari keberagaman seseorang, artinya dengan seseorang beragama Islam, pada saat yang sama kepadanya dikenakan aturan pernikahan. Rasulullah Saw. telah bersabda,
Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertaqwa kepada Allah (HR. Baihaqi dari Anas bin Malik)
Demikian juga pengarahan Nabi Saw.:
Menikah adalah sunahku, maka barangsiapa tidak suka dengan sunahku bukan termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlahnmu yang banyak di hari akhir nanti (HR. Ibnu Majah dari Aisyah r.a.)
Anas bin Malik r.a. menceritakan ada tiga kelompok orang datang ke rumah-rumah istri Nabi Saw. untuk menanyakan tentang ibadah Nabi Saw.. Setelah mereka diberitahu maka mereka merasa ibadah mereka sangat sedikit. Mereka berkata, ’Dimanakah kita ini dibandingkan dengan Nabi Saw. Padahal kesalahan beliau pasti diampuni baik yang terdahulu maupun yang akan datang.”
Berkata salah seorang di antara mereka, ”Saya akan shalat malam terus menerus”. Yang lain berkata, ”Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka”. Yang lain lagi berkata, ”Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Rasulullah Saw. datang kepada mereka sembari bersabda,
Kaliankah yang telah mengucapkan begini dan begini? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut di antara kamu keoada Allah dan paling takwa kepada-Nya. Tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan aku menikah dengan wanita. Maka barangsiapa membenci sunahku, ia bukam dari golonganku (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan sunah adalah jalan hidup, sedangkan jalan hidup Nabi Saw. benar-benar lurus dan lapang. Beliau berbuka agar kuat berpuasa, beliau tidur agar kuat melaksanakan shlat malam, dan beliau menikah untuk mengendorkan syahwat, menjaga kesucian jiwa dan mengembangkan keturunan.
Rasulullah bersabda:
Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu di antara kalian hendaklah melaksanakan pernikahan, karena ia dapat menundukkan dan menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa tidak mampu hendaklah berpuasa, karena ia menjadi benteng perlindungan (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, dan Nasa’i)
Sebagian ulama kita memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ”mampu” dalam hadits di atas adalah kemampuan berjimak. Akan tetapi menilik dari tujuan pernikahan yang sangat agung, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah, maka kesiapan dalam bentuk kemampuan berjimak saja tentu tidaklah cukup. Allah Swt. Telah berfirman,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Ar-Rum:21)
Manusia, laki-laki maupun wanita pada kewajaran fitrahnya akan memiliki rasa suka atau tertarik pada lwan jenis. Islam menjadikan pernikahan sebagai jalan terhormat untuk memformat kasih sayang di antara dua jenis manusia. Dengan pernikahan itu pula akan terlahir keturunan secara terhormat. Maka wajar pula jika pernikahan menjadi sesuatu peristiwa yang diharapkan oleh mereka yang memiliki kesucian fitrah.
”Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan (HR. Hakim, dishahihkan dengan syarat-syarat Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, ”Para ulama membagi orang dalam perkawinan menjadi beberapa macam. Pertama orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan mempu membiayai kehidupan serta merasa khawatir terhadap dirinya (akan terjerumus ke dalam perbuatan tercela jika tidak menikah), maka orang ini dianjurkan (disunnahkan) untuk menikah menurut semua ulama, dan dari madzhab Hanbali dalam salah satu riwayat menambahkan bahwa dia wajib menikah.”
Abu Awanah Al-Isfarayani dari madzhab Syafi’iyah juga berpendapat demikian, yakni wajib dan dia menegaskan hal ini dalam Shahihnya. Al Mashishi mengutip dalam syarah Mukhtashar Al-Juwaini dalam satu sisi, yaitu pendapat Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazm menegaskan wajibnya dengan mengatakan, ”Dan bagi orang yang mampu melakukan hubungan biologis, jika ia mampu menikah atau mengambil budak, wajib melakukan salah satu dari keduanya. Kalau tidak dapat melakukan, hendaklah ia banyak berpuasa; sebagaimana pendapat sejumlah ulama salaf. Sedangkan Al-Qurthubi mengatakan, ”Orang yang mampu menikah yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan agama jika ia membujang, yang kekhawatiran itu tidak dapat hilang melainkan dengan menikah, maka tidak ada perselisihan lagi tentang wajib menikah bagimnya.”
Perkawinan bukan saja syariat yang dibawa sejak kenabilan Nabi muhammad Saw., bahkan perkawinan telah menjadi tuntunan para Nabi terdahulu, sebagaimana firman Allah:
Dan sesungguhnya Kami telah mengurus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. (Ar-Ra’d:38)
Inilah rahmat Islam bagi semesta alam, dengan pernikahan tercegahlah kerusakan moral. Dengan pernikahan terjagalah keturunan. Dengan pernikahan, terciptalah ketenangan kehidupan.
Maka atas alasan apakah banyak pemuda kita zaman sekarang yang tidak segera melaksanakan pernikahan, sedangkan mereka te;ah memiliki kemampuan?
Wallahu a’alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar